Saya Rasa Dunia Adil

Memasuki semester enam ini, saya semakin beranggapan kalau dunia itu memang adil, khususnya pada saya. Dunia adil, memberikan lowongan mengajar privat pada orang-orang yang benar-benar kompeten dan melamar paling cepat. Dunia adil memberikan kesempatan student exchange kepada orang-orang yang memang Bahasa Inggrisnya benar-benar bagus dan memiliki kualifikasi lain yang lebih baik (mungkin IPK, pengalaman organisasi, motivation letter, dll). Meskipun saya sudah mempersiapkan passport dan tes TOEFL sejak lama, tapi, dunia memberikan hadiah kepada mereka yang berusaha lebih baik dari saya. Adil.

Dunia juga adil ketika saya berusaha mencari uang dan saya mendapatkan uang yang saya butuhkan. Dunia adil ketika saya mendapatkan IP lebih tinggi dari yang saya dapat di semester sebelumnya karena memang saya berusaha lebih keras. Dunia adil pula ketika saya mendapatkan skor TOEFL yang saya butuhkan untuk kuliah di luar negeri karena saya memang belajar sebelum tes, datang ke tempat tes tepat waktu, dan mengerjakan dengan baik.

Dunia adil ketika teman-teman saya bisa ke luar negeri dengan berbagai cara (konferensi, lomba, liburan), sementara saya belum, karena mereka bekerja lebih keras di luar kuliah, sementara saya internetan dan bersantai lebih banyak.

Jadi sebenarnya, tidak adil ketika saya justru iri kepada mereka yang mencapai lebih banyak daripada saya. Saya semata-mata melihat pencapaiannya tanpa mau memandang banting tulangnya. Dan lagi, dengan sadisnya menyiksa diri sendiri dengan komentar negatif terhadap diri sendiri.

Yang perlu lebih saya sadari, bahwa kebanyakan hal di dunia ini sebenarnya berjalan normal. Ada hal-hal yang kelihatannya ajaib, tapi setelah dipikirkan lagi sebenarnya normal-normal saja. Misalnya, senior di kampus yang sama di jurusan yang sama, yang bisa diartikan memiliki kecerdasan yang tidak jauh berbeda, bisa produktif sekali menulis sementara saya menulis blog saja sulit. Ternyata setelah ditilik, senior tersebut sejak kecil sudah disiplin menulis. Terinspirasi oleh ayahnya, dia sudah rajin menulis cerita sejak kecil. Jadi mungkin wajar, jika sekarang, di usia yang tidak jauh dengan saya, dia sudah mencapai jauh lebih banyak dari saya dalam menulis.

Mungkin, supaya lebih adil, bolehlah kagum terhadap kehebatan orang lain, tapi tidak perlu sampai mengecilkan diri sendiri juga. Cukup nikmati rasa kagum tersebut, nikmati inspirasi yang bisa didapat, amati bagaimana orang itu bisa menjadi seperti yang kita inginkan, dan lakukan seperti itu juga.

Oh ya, dan saya rasa, penting untuk berusaha menikmati proses dan tetap bahagia dengan diri sendiri ketika kita belum sukses sementara orang-orang di sekitar sudah hebat-hebat.

Punya pemikiran lain?

Comments

Popular posts from this blog

Download Ringkasan Materi Fisika SMA Kelas 1-3 Lengkap

Transportasi dari UI ke Soekarno-Hatta

Pengalaman Magang di Traveloka (Summer Intern)

Pengalaman Traveling ke Guangzhou, China

Hikmah Dibalik Kekalahan Timnas Indonesia